Thursday, September 8, 2016

Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan

Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan

Problema keragaman serta solusinya dalam kehidupan
Keragaman masyarakat adalah suatu kenyataan sekaligus kekayaan dari bangsa. Keragaman masyarakat Indonesia mempunyai cirri khas yang membanggakan kita. Namun demikian, keragaman tidak serta merta menciptakan keunikan, keindahan, kebanggaan, dan hal-hal yang baik lainya. Keragaman masyarakat memiliki cirri khas yang suatu saat bisa berpotensi negative bagi kehidupan bangsa itu.

Van de Berghe sebagaimana dikutip oleh Elly M. Setiadi (2006) menjelaskan bahwa masyarakat mejemuk atau masyarakat yang beragam selalu memiliki sifat-sifat dasar sebagai berikut.

  1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali memiliki budaya yang berbeda.
  2. Memiliki struktur sosial yang berbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
  3. Kurang mengembangkan consensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
  4. secara relative, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
  5. adanya dominasi politij oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainya


Menyimak cirri-ciri diatas, maka keragaman masyarakat berpotensi menimbulkan segmentasi kelompok, struktur yang terbagi-bagi, konsensus yang lemah, sering terjadi konflik, integrasi yang dipaksakan, dan adanya dominasi kelompok. Tentu saja potensi-potensi demikian adalah potensi yang melemahkan gerak kehidupan masyarakat itu sendiri sehingga dapat memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial.

Efek-efek negatif demikian di tingkat permukaan muncul dalam bentuk gesekan-gesekan, pertentangan, dan konflik terbuka antarkelompok masyarakat. Pertikaian antarkelompok masyarakat Indonesia sering sekali terjadi, bahkan di era reformasi sekarang ini. Konflik itu bisa terjadi antarkelompok agama, suku, daerah, bahkan antargolongan politik. Beberapa contoh, missal konflik di ambon tahun 1999, pertikaian di sambas tahun 2000, dan konflik poso tahun 2002.

Konflik atau pertentangan sebenarnya terdiri atas dua fase, yaitu fase disharmoni dan fase disintegrasi. Disharmoni menunjuk pada adanya perbedaan pandangan tentang tujuan, nilai, norma, dan tindakan antarkelompok. Disintegrasi merupakan fase dimana sudah tidak dapat lagi disatukan pandangan, nilai, norma, dan tindakan kelompok yang menyebabkan pertentangan antarkelompok.

Konflik horizontal yang terjadi di masyarakat Indonesia sesungguhnya bukan disebabkan oleh adanya perbedaan atau keragaman itu sendiri. Adanya perbedaan ras, etnik, dan agama tidaklah harus menjadikan kita bertikai dengan pihak lain. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antarbudaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok masyarakat dan budaya lain inilah justru yang dapat menjadi pemicu konflik. Yang dibutuhkan adalah adanya kesadaran untuk menghargai, menghormati, serta menegakkan prinsip kesetaraan atau kesederajatan antarmasyarakat tersebut. Masing-masing warga daerah bisa saling mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi.

Salah satu hal penting dalam meningkatkan pemahaman antarbudaya dan masyarakat ini adalah sedapat mungkin dihilangkanya penyakit-penyakit budaya. Penyakit-penyakit budaya inilah yang ditengarai bisa memicu konflik antarkelompok masyarakat Indonesia. Penyakit budaya tersebut adalah etnosentrisme, stereotip, prasangka, rasisme, diskriminasi, dan scape goating. 

Etnosentrisme diartikan sebagai suatu kecenderungan yang melihat nilai atau norma kebudayaanya sendiri sebagai suatu yang mutlak serta menggunakanya sebagai tolak ukur kebudayaan lain. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.

Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun negatif. Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotip adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk memberi “label” atau cap tertentu pada suatu kelompok. Dan yang termasuk problema yang perlu diatasi adalah stereotip yang negative atau memandang rendah kelompok lain. Konsep stereotip ini dalam bentuk lain disebut stigma atau cacat. Stigmatisasi oleh kelompok lain cenderung negatif.

Prasangka pada mulanya merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tidak teruji kebenaranya. Prasangka mengarah pada pandangan yang emosional dan bersifat negatif terhadap orang atau sekelompok orang. Jadi, prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan dalam berkomunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang pihak lain. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta dan nyata. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan objektif, dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.

Rasisme bermakna anti terhadap ras lain atau ras tertentu diluar ras sendiri. Rasisme dapat muncul dalam bentuk mencemooh perilaku orang lain hanya karena orang itu berbeda ras dengan kita. Rasisme sebenarnya merupakan bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan ras.

Diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan. Selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hokum.

Scape goating artinya pengkambinghitaman. Teori kambing hitam mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggung jawabkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di jerman, hitler mengkambinghitamkan yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di Negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, polandia yang digunakan untuk membantai hamper 1,5 juta orang yahudi. Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu dikirimkan ke jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa arya adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa arya (jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di jerman ini disebabkan oleh bangsa yahudi. 

Selain menghilangkan penyakit-penyakit budaya diatas, terdapat bentuk solusi lain yang dapat dilakukan. Elly M. Setiadi dkk (2006) mengemukakan ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk memperkecil msalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman, yaitu ;
  1. semangat religious
  2. semangat nasionalisme
  3. semangat humanism
  4. dialog antar umat beragama
  5. membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antaragama, media massa, dan harmonisasi dunia.


Keterbukaan, kedewasaan sikap, pemikiran global yang bersifat inklusif, serta kesadaran kebersamaan dalam mengarungi sejarah, merupakan modal yang sangat menentukan bagi terwujudnya sebuah bangsa Indonesia yang menyatu dalam keragaman, dan beragam dalam kesatuan. Segala bentuk kesenjangan didekatkan, segala keanekaragaman dipandang sebagai kekayaan bangsa, milik bersama. Sikap inilah yang perlu dikembangkan dalam pola fikir masyarakat kita.

2. Problem Kesetaraan serta Solusinya dalam Kehidupan
Kesetaraan atau kesederajatan bermakna adanya persamaan kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap untuk mengakui adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban sebagai sesame manusia. Oleh karena itu, prinsip kesetaraan atau kesederajatan mensyaratkan jaminan akan persamaan derajat, hak, dan kewajiban. Indicator kesederajatan adalah sebagai berikut.
  1. Adanya persamaan derajat dilihat dari segia agama, suku bangsa, ras, gender, dan golongan.
  2. Adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak.
  3. Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba tuhan, individu, dan anggota masyarakat.

Problema yang terjadi dalam kehidupan, umumya adalah munculnya sikap dan perilaku untuk tidak mengakui adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban antarmanusia atau antarwarga. Perilaku yang membeda-bedakan orang  disebut diskriminasi. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pada pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu kolektif dalam politik, ekonomi, hokum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainya. 

Diskriminasi bertolak belakang dengan prinsip kesetaraan, bahkan menjadi problema utama terwujudnya kesetaraan dan kesederajatan manusia. Perilaku yang tidak adil dan diskriminatif merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat Negara terhadap warga Negara, atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga Negara sendiri). Oleh karena itu harus ada upaya-upaya untuk menekan dan menghapus praktik-praktik diskriminasi  melalui perlindungan dan penegakkan HAM disetiap ranah kehidupan manusia.

Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 memasukkan program penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai program pembangunan bangsa. Berkaitan dengan ini, arah kebijakan yang diambil adalah sebagai berikut.
  1. Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk ketidakadilan gender bahwa bahwa setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama dimata hokum tanpa terkecuali.
  2. Menerapkan hokum dengan adil melalui perbaikan system hokum yang professional, bersih, dan berwibawa.

Penghapusan diskriminasi dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang anti diskriminatif serta pengimplementasian di lapangan.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan

0 comments:

Post a Comment