Manusia dan Kebudayaan
A. Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budhi atau akal”. Daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.
Manusia dan budaya adalah sebuah ikatan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna merupakan makhluk berbudaya, makhluk yang memiliki akal budi yang digunakan untuk berfikir dan menciptakan sesuatu lewat tindakannya. Manusia dapat menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun temurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, bahasa dan arsitektur merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan. Kebudayaan merupakan perangkat yang ampuh dalam sejarah kehidupan manusia yang dapat berkembang dan dikembangkan melalui sikap-sikap budaya yang mampu mendukungnya.
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda-beda menghasilkan keragaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup manusia (masyarakat, suku, atau bangsa) memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian, kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya.
Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Pendidikan sebagai hasil kebudayaan haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi. Selain itu pendidikan haruslah memberikan kontribusi terhadap kebudayaan, agar kebudayaan yang dihasilkan memberi nilai manfaat bagi manusia itu sendiri khususnya maupun bagi bangsa pada umumnya.
Dalam rangka memenuhi hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi hubungan antar persekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan. Tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan dari manusia untuk belajar dan beradaptasi dengan apa yang telah dipelajarinya. Kebudayaanlah yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya.
Kebudayaan yang diciptakan dan dimiliki oleh manusia mencerminkan pribadi manusia sebagai mahluk ciptaan yang paling sempurna diantara yang lainnya. Kebudayaan yang terus berkembang di kehidupan bermasyarakat dapat menjadi suatu tolak ukur dalam melihat betapa berbudayanya masyarakat di dalam suatu Negara.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kualitas manusia pada suatu negara akan menentukan kualitas kebudayaan dari suatu negara tersebut, begitu pula pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari pendidikan suatu bangsa.
v Contoh manusia sebagai makhluk yang berbudaya :
Di Indonesia banya sekali contoh-contoh manusia sebagai makhluk budaya, namun keberadaannya kini sudah mulai luntur, misalnya saja gotong royong. Manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya selalu berdampingan dengan individu lain. Gotong royong merupakan suatu istilah yang berarti bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan bersama-sama menikmati hasil atas pekerjaan tersebut. Sifat gotong royong dan kekeluargaan di daerah pedesaan lebih menonjol dalam pola kehidupan mereka, seperti memperbaiki dan membersihkan jalan. Diperkotaan gotong royong dapat dijumpai dalam kegiatan kerja bakti di lingkungan rumah, disekolah, atau di kantor-kantor, misalnya pada saat memperingati hari-hari besar nasional atau keagamaan.
Namun kenyataannya saat ini budaya-budaya asing mulai deras masuk dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.
B. Etika dan Estetika Berbudaya
1. Etika Manusia dalam Berbudaya
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos. Secara etimologis etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakuakan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perubahan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Ada 3 jenis makna etika menurut Bertens :
a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
c. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang baik dan buruk (filsafat moral).
Etika berbudaya mengandung tuntutan bahwa budaya yang diciptakan harus menimbang nilai-nilai etik yang bersifat universal. Meskipun demikian suatu budaya yang dihasilkan memenuhi nilai-nilai etik atau tidak tergantung dari paham atau ideologi yang diyakini oleh masyarakat. Sedangkan estetika berbudaya dapat diartika sebagai segala sesuatu tentang keindahan atau seni. Estetika berkaitan dengan sesuatu yang dinilai indah. Makna keindahan secara luas adalah keindahan mengandung ide kebaikan. Keindahan dalam arti sempit yaitu indah dalam lingkup persepsi penglihatan (bentuk dan warna). Keindahan dalam arti secara estetik murni, menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui indera.Estetik bersifat subyektif, sehingga tidak dapat dipaksakan. Tetapi yang penting adalah menghargai keindahan budaya yang dihasilkan pleh orang lain.
2. Estetika Manusia dalam Berbudaya
Estetika dapat dikatakan sebgai teori tentang keindahan atau seni. Estetika berkaitan dengan nilai indah-jelek (tidak indah). Nilai estetika berarti nilai tentang keindahan. Keindahan dapat diberi makna secara luas, secara sempit, dan estetik murni.
Jika etika dibandingkan dengan estetika, maka etika berkiatan dengan nilai tentang baik buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang indah-jelak. Sesuatu yang estetik berarti memenuhi unsur keindahan. Budaya yang estetik berarti budaya itu memiliki keindahan. Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa diterima banyak orang, namun nilai estetika amat subyektif dan partikular. Oleh karena subyektif, nilai estetik tidak bisa dipakasakan pada orang lain, sebab nilai estetik lebih bersifat perasaan, bukan pernyataan.
Etika berbudaya tidak semata-mata dalam berbudaya harus memenuhi nilai-nilai keindahan. Lebih dari itu, estetika berbudaya menyiratkan perlunya manusia untuk menghargai keindahan budaya yang dihasilkan oleh budaya lainnya. Keindahan adalah subyektif, tetapi kita dapat melepas subyektivitas kita untuk melihat adanya estetika dari budaya lain. Estetika budaya yang demikian akan mampu memecah sekat-sekat kebekuan, ketidak percayaan, kecurigaan, dan rasa inferioritas antar budaya
C. Tantangan budaya populer
Populer culture atau yang umum disingkat sebagai budaya pop mulai merebak di kalangan masyarakat modern pada abad ke 20. Pengaruh zaman yang memang tak terelakkan telah begitu kuat melanda negara-negara Barat di mana keterbukaan dan kebebasan menjadi ciri sekaligus aspirasi masyarakatnya. Seiring dengan arus deras globalisasi teknologi yang menyeruak ke seluruh permukaan planet ini, maka perkembangan budaya zaman itu terimbas ke mana mana dengan dampak yang sangat dahsyat.
Kalangan remaja atau anak baru gede (ABG), boleh di katakan merupakan generasi yang paling cepat menyerap dan menerapkan segala jenis produk perubahan karena mereka adalah kelompok lapisan masyarakat yang paling terpengaruh langsung oleh budaya populer.
Kita tak dapat menutup mata terhadap pergeseran nilai-nilai budaya yang terus menerus terjadi akibat perubahan zaman. Pembangunan di satu sisi menjanjikan perbaikan kondisi hidup, tapi di sisi lain ia juga meninggalkan bahkan meningkatkan berbagai permasalahan negatif yang tidak kurang seriusnya. Bahkan tidak jarang dampak destruktifnya lebih cepat menyebar, lebih kuat dan lebih gawat dibandingkan daya konstruktifnya.. Contoh yang paling aktual adalah maraknya peredaran pil-pil "XTC" (baca Ecstacy) di kota-kota besar tanah air. Hampir setiap hari kita membaca atau mendengar terungkapnya kasus berkaitan dengan pil setan itu. Itu baru yang terbongkar, belum terhitung berapa lagi kasus yang tak sempat terungkap.
Pesatnya pertumbuhan sektor fisik tidak diimbangi pertumbuhan mentalitas rohani. Akibatnya, terjadilah kemerosatan drastis atau dekadensi ketahanan diri terhadap ekses-ekses kejahatan. Sementara itu, kepercayaan terhadap kesigapan, kecakapan dan kewibawaan aparat penegak hukum digoncang sangat keras.
Benteng iman anak manusia di zaman inisedang digerogoti tanpa ampun. Satu masalah belum dapat diatasi dengan terpadu dan tuntas, sudah merebak budaya kekerasan lainnya. Akhir-akhir ini, bagi sekelompok massa tertentu hal merusak, membakar atau menghancurkan, menutup rumah-rumah ibadah dengan semena-mena atau memaksa sudah semakin dianggap biasa. Di samping itu, berbagai gerakan keonaran, kekerasan dan perusakan secara massal sudah membudaya. Hampir setiap sektor kehidupan: politik, ketenagakerjaan, tata niaga, dunia pendidikan hingga olah raga tak lepas dari sepak terjang ribuan "pengacau", "oportunist", "pecundang" maupun "preman", "para petawur", dan seterusnya yang amat mengganggu keamanan, bahkan menjurus ke modus kriminal. Entah berapa miliar sudah kerugian material akibat kerusuhanitu, bahkan sejumlah nyawa manusia melayang sia-sia. Tragedi akibat merebaknya budaya kekerasan semacam ini tentu sangat melukai keberadaan dan keberadaban bangsa Indonesia secara umum. Secara khusus, tentunya hal itu memupus harapan para keluarga korban. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
D. Problematika Kebudayaan
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda-beda menghasilkan keragaman kebudayaan. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian, kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia.
Dalam rangka memenuhi hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi hubungan antar persekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan. Berkaitan dengan hal tersebut kita mengenal adanya pewarisan kebudayaan, perubahan kebudayaan, dan penyebaran kebudayaan.
Bahwa dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan sesama, masyarakat dengan masyarakat lain yang terjadi antarpersekutuan hidup manusia sepanjang hidup manusia. Berkaitan dengan hal tersebut kita mengenal adanya tentang kebudayaan yaitu :
1. Pewarisan kebudayaan
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan, dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan budaya bersifat vertical artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan mmelalui ekulturasi dan sosialisasi. Proses enkulturasi di mulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermulai dari lingkungan keluarga, teman-teman sepermainan, dan masyarakat luas. Dalam hal pewarisan budaya bisa muncul masalah antara lain : sesuai atau tidaknya budaya barisan tersebut dengan dinamika masyarakat saat sekarang, penolakan generasi penerima terhadap warisan budaya tersebut, dan munculnya budaya baru yang tidak lagi sesuai dengan budaya warisan.
Dalam suatu kasus, ditemukan generasi muda menolak budaya yang hendak diwariskan oleh generasi pendahulunya. Budaya itu dianggap tidak lagi sesuai dengan kepentingan hidup generasi tersebut, bahkan dianggap bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya baru yang diterima sekarang ini.
2. Perubahan kebudayaan
Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya katidaksesuaian di antara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan. Perubahan kebudayaan mencakup banyak aspek, baik bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang dilaluinya. Perubahan kebudayaan di dalamnya mencakup perkembangan kebudayaan. Pembangunan dan modernisasi termasuk pula perubahan kebudayaan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah, antara lain perubahan akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regres (kemunduran) bukan progres (kemajuan); perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi dan diluar kendali manusia.
3. Penyebaran kebudayaan
Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu kelompok ke kelompok lain atau suatu masyarakat ke masyarakat lain. Kebudayaan kelompok masyarakat di suatu wilayah bisa menyebar ke masyarakat wilayah lain. Misalnya, kebudayaan dari masyarakat barat (Negara-Negara Eropa) masuk dan mempengaruhi kebudayaan timur (bangsa Asia dsan Afrika). Globalisasi budaya bisa dikatakan pula sebagai penyebaran suatu kebudayaan secara meluas.
v Beberapa Problematika Kebudayaan Antara lain :
a. Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sitem kepercayaan.
b. Hambatan budaya berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang. Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang ini dapat terjadi antara masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
c. Hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologo atau kejiwaan.
d. Masyrakat yang tersaing dan kurang komunikasi dengan masyarakat luas.
0 comments:
Post a Comment