Sunday, May 1, 2016

Dinamika Pesantren Dan Surau

Nama             : Wulan Kusuma
Nim                : 932142414
Dosen            : Dr. Ali Anwar, M. Ag.
Mata kuliah    : Sejarah Pendidikan Islam
Kelas             : E

A. Dinamika Pesantren Dan Surau.

Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, telah tumbuh lembaga pendidikan informal, yakni berlangsungnya hubungan antara para pedagang muslim atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Hubungan ini telah dapat disebut dengan hubungan pendidikan, karena telah memiliki lima persyaratan unsur pokok pendidikan, yaitu adanya pemberi, penerima, tujuan baik, cara dan jalan yang baik serta konteks positif. 

Setelah terbentuk masyarakat muslim, maka kebutuhan pertama mereka adalah rumah ibadah, mulailah tumbuh masjid dan langgar. Masjid tersebut berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Karena masjid tidak lagi mampu untuk manampung peserta didik serta tidak mungkin digunakan sepenuhnya untuk kegiatan pendidikan maka mulailah berkembang lembaga pendidikan di luar masjid. 

Lembaga pendidikan di luar masjid tersebut bermacam namanya sesuai dengan daerah masing-masing, misalnya di Jawa popular dengan nama pesantren, di Aceh di kenal dengan nama meunasah, rangkang atau dayah. Sedangkan di Sumatera Barat bernama Surau. Setelah masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia, maka lembaga pendidikan Islam itu bertambah lagi namanya dengan madrasah dan sekolah. Dan setelah Indonesia merdeka tumbuh pula lembaga pendidikan tinggi Islam lembaga-lembaga pendidikan tersebut tumbuh dan berkembang baik kuantitas maupun kualitas.

Pendidikan Islam mulai bersemi dan berkembang pada awal abad ke 20 Masehi dengan berdirinya madrasah Islamiyah yang bersifat formal.

Sistem pendidikan madrasah atau surau, dan pesantren, yang memang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan islam indigenous, dimodernisasikan misalnya dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan metode pengajaran, dan sebagainya.

Pada tahun 1916, H. Abdul Karim Amrullah menjadikan Surau Jembatan Besi (lembaga pendidikan tradisional Islam Minangkabau) sebagai basis untuk pengembangan madrasah modern, yang kemudian lebih dikenal sebagai Sumatera Thawalib. Berbarengan dengan itu, Zainuddin Labay el-Yunusi mengembangkan Madrasah Diniyyah, yang pada awal perkembangannya merupakan “madrasah sore” untuk memberikan pelajaran agama kepada murid-murid sekolah.

Sebagaimana pada umumnya pesantren fokus pada ilmu-ilmu tradisional (agama) seperti tafsir, hadist, fikih, tauhid/akidah, akhlak, tasawuf, dan bahasa Arab. Pada perkembangan selanjutnya, pesantren merasakan keterbatasannya karena hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama saja. Oleh karena itu para pengelola pesantren mulai memunculkan kesadaran mengembangkan ilmu-ilmu modern (umum).

B. Pesantren Tetap Berkembang Sedangkan Surau Tidak Berkembang. 

Sumatera barat sejak permulaan abad 19 telah menjadi salah satu pusat pengkajian dan pendidikan Islam yang banyak dikunjungi para pelajar dari berbagai daerah dan semenanjung Malaka.

Pada pase pertama pendidikan Islam di Sumatera Barat memakai sistem “Surau” dan Halaqah. Surau-surau yang termasyur di masa itu di antaranya Surau Tanjung Sunga yang didirikan oleh Syeikh Thaib Umar, Surau Parabek Bukit Tinggi didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa, Surau Padang Panjang didirikan oleh syekh Abbas Abdullah, Surau Jembatan Besi didirikan oleh Dr. Karim Amrullah, Surau Candung Bukit Tinggi didirikan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli, Surau Jaho Padang Panjang didirikan oleh syekh Jaho, dan lain-lain. Dalam perkembangan selanjutnya, sistem surau sebagian berubah menjadi sistem klasikal/madrasah.

Adapun Surau yang pertama kali membuka madrasah formal ialah Thawalib di Padang Panjang pada tahun 1921 M di bawah pimpinan Syeikh Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka. Selain madrasah, juga majalah Islamiyah mulai diterbitkan sebagai sarana pendidikan Islam untuk masyarakat.pada tahun 1911 M di Padang Panjang terbit majalah Al-Munir pimpinan Syeikh H.Abdullah Ahmad dan Syeikh Abdul Karim Amrullah.

Sejarah telah mencatat bahwa dari Madrasah dan perguruan Islam di Sumatera Barat pernah melahirkan “kaum muda” kelompok intelektual Muslim yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat. Oleh “kaum muda” produk Madrasah dan peguruan tinggi itulah pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam dari Sayid Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha diperkenalkan kepada masyarakat Islam Indonesia.

Dr. Karim Amrullah misalnya telah menulis sekitar 30 buah kitab (yang sebagian kitab-kitab itu muncul dari hasil polemic sekitar hukum-hukum Islam - Fiqh dan Syariah), Syeikh Ahmad Chatib menulis buku Izharu Zughail Karibina (menjelaskan kekacauan orang-orang yang pembohong), seorang ulama sebaya Buya Hamka yang juga memiliki tradisi keilmuan yang kuat adalah Syeikh Abduh Hamid (bergelar Angku Mudo) yang antara lain mengarang kitab Al-Bayan (Ushul Fiqih) dan Al-Mu’inul Mubin, dan masih banyak karya ke Islaman yang dikarang oleh ulama didikan “Surau” di Sumatera Barat.

Usaha untuk mengembalikan pamor Madrasah dan Peguruan Islam di Sumatera Barat sebagai pusat pengkajian dan penyiapan kader ulama terus dilakuakan oleh para pengurus dan oleh berapa tokoh ulama asal Sumatera Barat. Almarhum Zainal Abidin Ahmad misalnya pada tahun 70-an sengaja hijrah ke padang Panjang untuk memimpin Perguruan Sumatera  Thawalib. Cita-cita beliau ingin memajukan dan mempertegas kembali garis pendidikan Sumatera Thawalib sehingga mampu menghasilkan/mencetak kader atau calon ulama yang berkualitas seperti sediakala. Tetapi usaha itu agaknya kurang berhasil dan akhirnya beliau kembali ke Jakarta, dan Pimpinan Sumatera Thawalib dilanjutkan oleh Baya Mawardi Muhammad. 

Bahkan beberapa tokoh/ulama Sumatera Barat mempercakapkan dan menyatakan prihatin atas kemunduran madrasah dan perguruan Islam di Sumatera Barat. Minat masyarakat terhadap madrasah dan pengajian pada khusus agama kian  berkurang.

Kesulitan utama yang dihadapi oleh pendidikan surau selain terbatasnya dana, sarana, dan tenaga, tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman, sedangkan surau tetap mempertahankan cirri khasnya. Contohnya dalam kasus Sumatera Thawalib Padang Panjang, pihak pengasuh berusaha untuk dapat mempertahankan ciri khas pendidikan Sumatera Thawalib, seperti yang tercemin dari kitab-kitab pegangan untuk bidang studi agama semunya dalam bahasa arab. Bahkan menurut Buya Mawardi Muhammad untuk pelajaran tafsir dipakai Tafsir Al-Manar sesuai yang diamanatkan oleh pendirinya, yaitu Dr. Karim Amrullah.

Sedangkan dalam upaya menjadikan sistem dan lembaga pendidikan indigeneous dalam hal ini pesantren sebagai basis dalam pengembangan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam pada masa lebih belakangan (1926) kembali dilakukan di pulau jawa dengan pembentukan Pondok Modern Gontor Ponorogo. Gagasan yang berada dibelakang pembentukan Pondok Modern adalah kesadaran bahwa perlunya modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, tidak dengan mengadopsi sistem dan kelembagaan pendidikan modern Belanda, melainkan dengan memodernisasikan system dan kelembagaan pendidikan Islam indigenous. Kenapa yang belakangan yang dijadikan alternatif? Karena pesantren lebih berakar kuat dan mendalam dan lebih acceptable (cocok) bagi banyak kaum Muslimin, serta sistem dan kelembagaan pesantren yang dalam banyak hal telah dimodernisasi dan disesuaikan dengan tuntutan pembangunan. Modernisasi pesantren yang menemukan momentumnya sejak akhir 1970-an telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Perubahan cukup mendasar misalnya terjadi pada aspek-aspek tertentu dalam kelembagaan. Dalam hal ini, dalam waktu-waktu terakhir banyak pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah sesuai dengan pola Departemen Agama, tetapi juga bahkan mendirikan sekolah-sekolah umum dan universitas umum. Dengan perkembangan ini, apa yang tersisa dari asprk kelembagaan pesantren itu adalah boarding system-nya. Dan boarding sistem ala pesantren ternyata menemukan momentum popularitas baru. SMU Madania di Parung, Bogor, yang didirikan Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1996 mengadopsi boarding system pesantren untuk mengembangan “Sekolah Unggulan” Islam.

Pesantren sangat potensial untuk dikembangkan menjadi institusi keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan yang cocok dengan kondisi budaya bangsa Indonesia. Terlebih lagi pesantern terbukti mampu menampilkan diri sebagai institusi yang tetap eksis dalam menghadapi segala bentuk dinamika perubahan sosial denagan dua karakter utama budaya pendidikannya, yaitu (1) karakter budaya yang memungkinkan santri belajar secara tuntas, tidak hanya terbatas pada transfer ilmu-ilmu pengetahuan, tetapi juga aspek pembentukan kepribadian, dan (2) kuatnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, sangatlah wajar sekiranya pesantren kemudian banyak dijuruk, paling tidak pada awal masa pasca kemerdekaan, untuk dijadikan sebagai acuan alternatif  dalam menghadapi kebuntuan upaya merumuskan sistem perguruan nasional yang tidak tercabut dari akar historis keindonesiaan danjuga tidak berkurang efisiensi dan efektivitasnya.

Jadi, alasan mengapa pesantren masih berkembang sedangkan surau sudah tidak berkembang, karena pendidikan di pesantren sudah di gabungkan dengan pendidikan modern, sehingga dapat mengikuti perkembangan Zaman. Disisi lain surau sudah tidak berkembang karena surau tetap berusaha mempertahankan cirri khas pendidikannya sehingga pendidikan surau tidak dapat mengikuti perkembangan Zaman.

DAFTAR PUSTAKA
Albarobis, Muhyidin dan Sutrino. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. 
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKIS, 2008. 
Daulay, Haidar Putra. Pemberdayaan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN. Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta: Depertemen Agama, 1986.
Saridjo, Marwan. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco, 1996.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Dinamika Pesantren Dan Surau

0 comments:

Post a Comment