Manajemen Perencanaan Kurikulum
Maksud dari manajemen dalam perencanaan kurikulum adalah keahlian “managing” dalam arti kemampuan merencanakan dan mengorganisasikan kurikulum. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan kurikulum adalah siapa yang bertanggung jawab dalam perencanaan kurikulum, dan bagaimana perencanaan kurikulum itu direncanakan secara professional.
Hal yang pertama dikemukakan berkenaan dengan kenyataan adanya gap atau jurang antara ide-ide strategi dan pendekatan yang dikandung oleh suatu kurikulum dengan usaha-usaha implementasinya. Gap ini disebabkan oleh masalah keterlibatan personal dalam perencanaan kurikulum. Keterlibatan personal ini banyak bergantung pada pendekatan perencanaan kurikulum yang dianut.
Pada pendekatan yang bersifat “administrative approach” kurikulum direncanakan oleh pihak atasan kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru. Jadi form the top down, dari atas ke bawah atas inisiatif administrator. Dalam kondisi ini guru-guru tidak dilibatkan. Mereka lebih bersifat pasif yaitu sebagai penerima dan pelaksana di lapangan semua ide gagasan dan inisiatif berasal dari pihak atasan.
Sebaliknya pada pendekatan yang bersifat “grass roots approach” yaitu yang dimulai dari bawah, yakni dari pihak guru-guru atau sekolah-sekolah secara individual dengan harapan bias meluas ke sekolah-sekolah lain. Kepala sekolah serta guru-guru dapat merencanakan kurikulum atau perubahan kurikulum karena melihat kekurangan dalam kurikulum yang berlaku. Mereka tertarik ole hide-ide baru mengenai kurikulum dan bersedia menerapkannya di sekolah mereka untuk meningkatkan mutu pelajaran.
Dengan bertindak dari pandangan bahwa guru adalah manager (the teacher as manager) J.G Owen sangat menekankan perlunya keterlibatan guru dalam perencanaan kurikulum. Guru harus ikut bertanggung jawab dalam perencanaan kurikulum Karena dalam praktek mereka adalah pelaksana-pelaksana kurikulum yang sudah disusun bersama.
Di Inggris gagasan ini berwujud dalam bentuk “teacher’s centeres” yang dibentuk secara local sebagai tempat guru-guru bertemu dan berdiskusi tentang pembaharuan pendidikan. Disamping guru-guru berkumpul juga pengajar dari perguruan tinggi, pengusaha dan para konsumen lulusan sekolah.
Masalah yang kedua, bagaimana kurikulum direncanakan secara professional, J.G Owen lebih menekankan pada masalah bagaimana menganalisis kondisi-kondisi yang perlu diperhatikan sebagai factor yang berpengaruh dalam perencanaan kurikulum.
Terdapat dua kondisi yang perlu dianalisis setiap perencanaan kurikulm:
1.Kondisi sosiokultural
Kemampuan professional manajerial menuntut kemampuan untuk dapat mengolah atau memanfaatkan berbagai sumber yang ada di masyarakat, untuk dijadikan narasumber. J.G Owen menyebutkan peranan para ahli behavior science, karena kegiatan pendidikan merupakan kegiatan behavioral dimana di dalamnya terjadi berbagai interaksi social antara guru dengan murid, murid dengan murid, dan atau guru dengan murid dengan lingkungannya.
2.Ketersediaan fasilitas
Salah satu penyebab gap antara perencana kurikulum dengan guru-guru sebagai praktisi adalah jika kurikulum itu disusun tanpa melibatkan guru-guru, dan terlebih para perencana kurang atau bahkan tidak memperhatikan kesipan guru-guru di lapangan. Itulah sebabnya J.G Owen menyebutkan perlunya pendekatan “from the bottom up”, yaitu pengembangan kurikulum yang berasal dari bawah ke atas.
Menurut Peter F. Olivia,
Perencanaan kurikulum terjadi pada berbagai tingkatan, dan kurikulum pekerja-guru, pengawas, administrator, atau lainnya dapat terlibat dalam upaya kurikulum pada beberapa tingkat pada waktu yang sama. semua guru yang terlibat dalam perencanaan kurikulum di tingkat kelas, guru yang paling berpartisipasi dalam kurikulum. tingkat perencanaan di mana fungsi guru dapat dikonseptualisasikan sebagai sosok yang ditunjukkan.
0 comments:
Post a Comment